Senin, 01 April 2013

heating perineum


I. ANATOMI DAN PERSARAFAN PERINEUM
Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. Diafragma urogenitalis terletak menyilang arkus pubis diatas fascia superfisialis perinei dan terdiri dari otot-otot transversus perinealis profunda. Diafragma pelvis dibenuk oleh otot- otot koksigis dan levator ani yang terdiri dari otot penting, yaitu : m.puborektalis, m.pubokoksigis dan m.iliokoksigis. Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, diantaranya lewat urethra, vagina dan rektum.(1)
Perineum berbatas sebagai berikut :
1.      Ligamentum arkuata dibagian depan tengah
2.      Arkus iskiopubik dan tuber iskii dibagian lateral depan
3.      Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang
4.      Tulang koksigis dibagian belakang tengah
Daerah perineum terdiri dari 2 bagian, yaitu :1
1.      Regio anal disebelah belakang. Disini terdapat m.sfingter ani eksterna yang melingkari anus.
2.      Regio urogenitalis. Disini terdapat m.bulbokavernosus, m.transversus perinealis superfisialis dan m.iskiokavernosus.
Perineal body merupakan struktur perineum yang terdiri dari tendon dan sebagai tempat bertemunya serabut-serabut otot tersebut diatas. Persarafan perineum berasal dari segmen sakral 2,3,4 dari sumsum tulang belakang (spinal cord) yang bergabung membentuk nervus pudendus.
Syarat ini meninggalkan pelvis melalui foramen sciatic mayor dan melalui lateral ligamentum sakrospinosum, kembali memasuki pelvis melalui foramen sciatic minor dan kemudian lewat sepanjang dinding sampai fossa iliorektal dalam suatu ruang fasial yang disebut kanalis Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock, n.pudendus terbagi menjadi 3 bagian/cabang utama, yaitu n.hemorrhoidalis inferior di regio anal, n.perinealis yang juga membagi diri menjadi n.labialis posterior dan n.perinealis profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis dan diafragma urogenital; dan cabang ketiga adalah n.dorsalis klitoris.(1)
Perdarahan ke perineum sama dengan perjalanan saraf yaitu berasal dari arteri pudenda interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi a.hemorrhoidalis inferior, a.perinealis dan a.dorsalis klitoris.(1)
II. RUPTUR PERINEUM
A.    DEFINISI
Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa (Dorland, 1994). Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata 4 cm (Wiknjosastro, 1999).
Klasifikasi ruptur perineum ada 2, yaitu :
1.      Ruptur perineum spontan Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.(2)
Robekan perineum ada 2, yaitu :2
a)      Anterior : labia, vagina anterior, uretra atau klitoris
b)       Posterior : dinding posterior vagina, otot perineum, spincter ani, mukosa rektum.
2.      Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi) Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum.(2)
Episiotomi ialah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.3
A.     RUPTUR PERINEUM SPONTAN
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot_otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.(4)
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala  janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal.(4)
Faktor-faktor yang menyebabkan ruptur perineum (Harry Oxorn) :5
Faktor maternal, mencakup :
1.      Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering)
2.      Pasien tidak mampu berhenti mengejan.
3.       Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan.
4.       Edema dan kerapuhan pada perineum.
5.      Varikositas Vulva yang melemahkan jaringan-jaringan perineum.
6.      Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pulasehingga menekan kepala bayi ke arah posterior.
7.      Perluasan episitomi.
Faktor janin mencakup :
1.      Bayi yang besar
2.      Posisi kepala yang abnormal, ex : presentasi muka
3.      Kelahiran bokong
4.      Ekstraksi forceps yang sukar
5.      Dystocia bahu
6.      Anomali kongenital, seperti hidrocephalus
Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan (2) :
1.      Tingkat I : robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.
2.      Tingkat II : Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani
3.      Tingkat III : Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
4.      Tingkat IV : Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rectum
B.     RUPTUR PERINEUM DISENGAJA ( EPISIOTOMI)
Penyembuhan luka perineum akan lebih sempurna bila pinggirnya lurus dan otot- otot mudah dijahit. Pada persalinan spontan sering terjadi robekan perineum yang merupakan luka dengan pinggir yang tidak teratur. Hal ini akan menghambat penyembuhan penyembuhan per primam sesudah luka dijahit. Oleh karena itu, dan juga untuk melancarkan jalannya persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum pada saat kepala janin tampak dari luar dan mulai meregangkan perineum.4
Dengan cara episiotomi, maka robekan perineum, regangan otot-otot dan fasia pada dasar panggul, prolapsus uteri, stress incontinence, serta perdarahan dalam tengkorak janin dapat dihindarkan. Luka episiotomi lebih mudah dijahit daripada robekan.4
a.       Jenis Episiotomi:
Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu:
1)      Episiotomi medialis
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah : perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet (laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).
2)      Episiotomi mediolateralis
Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping.  Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira2 4 cm.
Sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinei tingkat III. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris. 
3)      Episiotomi lateralis
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.
4)      Insisi Schuchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta sayatannya lebih lebar.
C.     Indikasi episiotomy.
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin. Indikasi ibu antara lain adalah:
1)      Primigravida umumnya
2)      Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu
3)      Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum dan anak besar
4)      Arkus pubis yang sempit
Indikasi janin antara lain adalah:
1)      Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
2)      Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar.
3)      Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti pada gawat janin, tali pusat menumbung.
D.    Kontra indikasi.
Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah :
a.       Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam
b.       Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapadatnya varises yang luas pada vulva dan vagina. 
E.     TEKNIK PENJAHITAN
a.       Teknik Episiotomi Medialis
Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani.
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi iniltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%. Setelah pemberian anestesi, dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi tidak sampai memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).
Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit pula dengan beberapa jahitan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputus-putus (interrupted suture) atau secara jelujur (continous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut khromik, sedangkan untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
 
Keterangan :
1)      Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan
2)       Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan
3)      Selaput lendir vagina dijahit
4)      Kulit perineum dijahit dengan benang sutera
b.      Teknik Episiotomi Mediolateralis
Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.
Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemkian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris. 
 
1)      Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
2)      Benang jahitan pada otot-otot ditarik
3)       Selaput lendir vagina dijahit
4)      Jahitan otot-otot diikatka
5)       Fasia dijahit
6)      Penutupan fasia selesai
7)      Kulit dijahit
c.       Teknik Episiotomi Lateralis3
Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3
atau jam 9 menurut arah jarum jam.
Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak memimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 
III. TEKNIK MENJAHIT ROBEKAN PERINEUM
 III.1. PERALATAN MENJAHIT PERINEUM
a.       Gorden dan sarung tangan steril
b.      Solusi irigasi
c.       Needle holder
d.      Metzenbaum gunting
e.       Jahitan gunting
f.       Gunting tang dengan gigi
g.      Klem Allis
h.      Gelpi atau deaver retractor ( untuk digunakan dalam memvisualisasikan derajat ketiga
i.        atau keempat robekan perineum, atau dalam robekan vagina)
j.        10 ml suntik dengan 22 gauge
k.      1% lidokain ( xylocaine )
l.        3-0 jahitan polyglactin 910 ( vicryl ) jahitan di CT-1 jarum ( untuk jahitan mukosa
m.    vagina )
n.      3-0 jahitan pada polyglactin 910 CT-1 jarum ( untuk jahitan otot perineum )
o.      4-0 polyglactin SH 910 pada jarum jahit ( untuk jahitan kulit )
p.      2-0 polydioxanone sulfat (PDS) jahitan di CT-1 jarum ( untuk jahitan eksternal
q.      sfingter anal )
III.2. TEKNIK MENJAHIT ROBEKAN PERINEUM
1. Tingkat I :
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).
2. Tingkat II :
Pada robekan perineum tingkat II, setelah diberi anestesi lokal otot-otot diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan dibawahnya.
Jahitan mukosa vagina : jahit mukosa vagina secara jelujur dengan catgut kromik 2-0. Dimulai dari sekitar 1 cm di atas puncak luka di dalam vagina sampai pada batas vagina.
Jahitan otot perineum : lanjutkan jahitan pada daerah otot perineum sampai ujung luka pada perineum secara jelujur dengan catgut kromik 2-0. Lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya. Penting sekali untuk menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga diantaranya.
Jahitan kulit : carilah lapisan subkutikuler persis di bawah lapisan kulit. Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali ke arah batas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.
3. Tingkat III :
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Jahitan sfingter ani : jepit otot sfingter dengan klem Allis atau pinset. Tautkan ujung otot sfingter ani dengan 2-3 jahitan benang kromik 2-0 angka 8 secara interuptus. Larutan antiseptik pada daerah robekan. Reparasi mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
4. Tingkat IV :
Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.3,4
III.3. PERAWATAN PASCA TINDAKAN
a.       Apabila terjadi robekan tingkat IV (robekan sampai mukosa rektum), berikan antibiotic profilaksis dosis tunggal. Ampisilin 500 mg peroral danMetronidazol 500 mg peroral.  Observasi tanda-tanda infeksi. Jangan lakukan pemeriksaan rektal atau enema selama 2 minggu.
b.      Penggunaan sitz mandi dan analgesik seperti ibuprofen. Jika rasa sakit yang berlebihan pada hari-hari setelah pasca tindakan harus segera diperiksa, sebab rasa sakit merupakan tanda-tanda infeksi didaerah perineum.
c.       Penderita diberi makanan yang tidak mengandung selulosa mulai dari hari kedua diberi parafinum liquidum sesendok makan 2 kali sehari dan jika perlu pada hari ke 6 diberi klisma minyak.
III.4. KOMPLIKASI JIKA ROBEKAN PERINEUM DIBIARKAN
Jika robekan tingkat III tidak diperbaiki dengan baik, pasien dapat menderita gangguan defekasi dan flatus. Jika robekan rektum tidak diperbaiki, dapat terjadi infeksi dan fistula rektovaginal.
III.5. PENANGANAN KOMPLIKASI
Jika terdapat hematoma, darah dikeluarkan. Jika tidak ada tanda infeksi dan perdarahan sudah berhenti, lakukan penjahitan. Jika terdapat infeksi, buka dan drain luka. Berikan Ampisilin 500 mg peroral tiga kali sehari selama 5 hari danMetronidazol 400 mg peroral tiga kali sehari selama 5 hari. Jika infeksi mencapai otot dan terdapat nekrosis, lakukan debridemen dan berikan antibiotika secara kombinasi sampai pasien bebas demam 48 jam. Penisilin G 2 juta unit setiap 6 jam IV. Ditambah Gentamisin 5 mg/kgBB setiap 24 jam IV.DitambahMetronidazol 500 mg peroral setiap 8 jam IV
Sesudah pasien bebas demam selama 48 jam berikan : Ampisilin 500 mg peroral empat kali sehari selama 5 hari. DitambahMetronidazol 400 mg peroral tiga kali sehari selam 5 hari. Luka dapat dijahit bila telah tenang, 2-4 minggu kemudian. Fistula rektovaginal perlu dilakukan bedah rekonstruksi 3 bulan atau lebih pasca Persalinan
 
DAFTAR PUSTAKA
1.      Bonica, John J. Principles and Practice of Obstetric Analgesia and Anesthesia, FA Davis Co. Philadelphia, 2nd ed, 1995; 501-513.
2.       http://askep-askeb.cz.cc/2010/01/kti-kebidanan-studi-korelasi-berat.html
3.       Wiknjosastro H, Saifuddin Abdul B, Rachimhadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Indonesia: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,2007.h.170-176.
4.       Wiknjosastro H, Saifuddin Abdul B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Indonesia: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,2005.h.665-666;882-884.
5.       http://askep-askeb.cz.cc/2010/03/rupture-perineum.html
6.       http://blog.ilmukeperawatan.com/episiotomi-definisiindikasi-dan-kontra-indikasi- episiotomy.html
7.       Cunningham FG,Mac Donald PC, Gan NF et al. Williams Obstetrics, 20 th ed. Appleton and Lange, 1997; 342-345
8.      http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://www.aa fp.org/afp/20031015/1585.html
9.       Saifuddin Abdul B, Wiknojosastro Gulardi H, Affandi B, Waspodo D. Buku Panduan Praktis Pelayanan KesehatanMaternal dan Neonatal Indonesia : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006.h.P-19;P-50-P51.

Tidak ada komentar: