BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan persalinan atau segera setelah bayi lahir.
Menurut
WHO (dalam Depkes RI, 2004) bahwa setiap tahunnya, kira-kira 3% (3,6 juta) dari
120 juta bayi mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi,
sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal (usia di bawah 1 bulan). Setiap 5
menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab kematian neonatal
di Indonesia diantaranya asfiksia sebesar 27% dari seluruh kematian neonatus.
B.
Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud asfiksia?
- Bagaimana etiologi asfiksia?
- Bagaimana perubahan patofisiologis dan gambaran klinis asfiksia?
- Apa tindakan yang harus dilakukan pada asfiksia?
- Bagaimanakah prinsip dasar resusitasi?
- Bagaimanakah cara resusitasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan persalinan atau segera setelah bayi lahir (Sarwono, 2002).
Asfiksia berarti hipoksia yang progesif, penimbunan CO2 dan asidosis bila proses ini berlangsung
terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia ini dapat mempengaruhi fungsi
organ vital (Saifudin, 2002).
Menurut
WHO (dalam Depkes RI, 2004) bahwa setiap tahunnya, kira-kira 3% (3,6 juta) dari
120 juta bayi mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di
Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47% meninggal pada masa
neonatal (usia di bawah 1 bulan). Setiap 5 menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab
kematian neonatal di Indonesia diantaranya asfiksia sebesar 27% dari seluruh kematian neonatus.
B.
Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir
terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan
pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia
neonatus. Gangguan ini dapat timbul
pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian
besar asfiksia bayi baru lahir ini
merupakan kelanjutan asfiksia janin,
karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan
yang sangat penting untuk keselamatan bayi (Saifudin, 2002).
Chamberlain (1970) dalam Sarwono
(2002) mengemukakan bahwa asfiksia
yang mungkin timbul dalam masa kehamilan dapat dibatasi atau dicegah dengan
melakukan pengawasan antenatal yang adekuat
dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa penghentian kehamilan dapat dipikirkan bila
kelainan yang timbul tidak dapat diatasi dan keadaan bayi telah mengijinkan.
Gangguan yang timbul pada akhir
kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus. Keadaan ini perlu
mendapat perhatian utama agar persiapan dapat dilakukan dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat
lahir. Dengan demikian dapat diharapkan kelangsungan hidup yang sempurna untuk
bayi tanpa gejala sisa.
Towell
(1966) dalam (Sarwono, 2002) menganjurkan penggolongan penyebab kegagalan
pernafasan pada bayi yang terdiri dari:
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anesthesia dalam gangguan aliran darah uterus.
Mengurangnya
aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada
keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus,
misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Pertukaran
gas antar ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin
akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan
lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi
umbilicus akan mengakibatkan
terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antar ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan talu pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan
lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi
pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
(a) pemakaian obat anesthesia/analgetika
yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernafasan janin, (b) trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intracranial, (c) kelainan konginetal
pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
C.
Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis
Pernafasan spontan bayi baru lahir
bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses
kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia
ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia
transient). Proses ini dianggap
sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor
pusat pernafasan agar terjadi “primary
gasping” yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh
buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.
Bila terdapat gangguan pertukaran
gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan/persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fungasi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversible atau tidak bergantung kepada berat dan lamanya asfiksia (Caldeyro-Barcia, 1968) dalam
Saifudin (2002). Pada percobaan binatang yang dikerjakan oleh Dawes (1968)
dalam Saifudin (2002), ternyata bahwa asfiksia
yang ditimbulkan pada binatang percobaan memperlihatkan suatu pola klinis
tertentu. Hal ini sesuai dengan observasi klinis yang tampak pada bayi
afsiksia. Afsiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primary apnoea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung.
Selanjutnya bayi akan mempelihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Para
penderita asfiksia berat, apnu kedua (secondary apnoea).
Di samping adanya perubahan
klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan
asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan
asidosis respiratorik. Bila gangguan
berlanjut, dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga
sumber glikogen tubuh terutama pada
jantung dan hati akan berkurang. Asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan
timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan
terjadi perubahan kardiovaskular yang
disebabkan oleh beberapa keadaan di antaranya: (a) hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi
fungsi jantung, (b) terjadinya asidosis
metabolik akan mengakibatkan menurunnya
sel jaringan, termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung,
(c) pengisian udara alveolus yang
kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru,
sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke sistem sirkulasi tubuh
lain akan mengalami gangguan. Acidosis
dan gangguan kardiovaskuler yang
terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang
terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
Maclaurin (1970) dalam Saifudin (2002)
menggambarkan secara skematis perubahan yang
penting dalam tubuh lama proses asfiksia, disertai hubungannya dengan gabaran klinis:
Gambar 2.1 Skema perubahan-perubahan yang terjadi selama proses asfiksia (Maclaurin, 1970)
Pada skema tersebut secara
sederhana disimpulkan keadaan- keadaan pada asfiksia
yang perlu mendapat perhatian sebaiknya, yaitu : (1) menurunnya tekanan O2
darah (PaO2), (2) meningginya tekanan CO2 darah (PaCO2),
(3) menurunnya pH (akibat asidosis
respiratorik dan metabolik), (4) dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme anaerobik, (5) terjadinya perubahan sistem kardiovaskular. Mengenal dengan tepat perubahan tersebut di atas
sangat penting, karena hal itu merupakan manifestasi daripada tingkat asfiksia yang terjadi. Tindakan yang
dilakukan pada bayi asfiksia hanya
akan berhasil dengan baik bila perubahan yang terjadi dapat dikoreksi secara
adekuat
Dalam praktek menentukan tingkat asfiksia bayi dengan tepat membutuhkan pengalaman
dan observasi klinis yang cukup. Pada tahun lima puluhan digunakan kriteria 'breathing time' dan 'crying time' untuk menilai keadaan
bayi. Kriteria ini kemudian ditinggalkan, karena tidak dapat memberikan
informasi yang tepat pada keadaan tertentu (Apgar, 1966). Virginia Apgar (1953,
1958) mengusulkan beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru
lahir. Kriteria ini ternyata berguna karena berhubungan erat dengan perubahan
keseimbangan asam-basa pada bayi (Drage dan Berendes, 1966 dalam Saifudin,
2002).
Di samping itu dapat pula
memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan.
Penilaian semacam Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan
mortalitas dan mordibilitas bayi baru
lahir (Drage. 1964). Cara ini dianggap yang paling ideal dan telah banyak
digunakan di mana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah : (1) menghitung
frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas. (3) menilai tonus otot, (4)
menilai refleks rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap kriteria
diberi angka tertentu dan penilaian itu sekarang lazim disebut Skor Apgar. Skor
Apgar ini biasanya dinilai I menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat
bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir
dengan sempurna Skor Apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali
sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi.
Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini
mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Drage, 1966 dalam Saifudin,
2002).
Tabel 2.1 : Skor Apgar
Tanda
|
0
|
1
|
2
|
Jumlah Nilai
|
Frekuensi jantung
|
Tidak ada
|
Kurang dari 100/menit
|
Lebih dari 100/menit
|
|
Usaha bernafas
|
Tidak ada
|
Lambat, tidak teratur
|
Menangis kuat
|
|
Tonus otot
|
Lumpuh
|
Ekstrimitas fleksi sedikit
|
Gerakan aktif
|
|
Refleks
|
Tidak ada
|
Gerakan sedikit
|
Menangis
|
|
Warna
|
Biru/pucat
|
Tubuh kemerahan, ekstrimitas
biru
|
Tubuh dan ekstrimitas
kemerahahan
|
Sumber: Saifudin, 2002
Dalam menghadapi bayi dengan asfiksia berat, penilaian cara ini
kadang-kadang membuang waktu dan dalam hal ini dianjurkan untuk menilai secara
cepat (Pediatric's 1967) dalam Saifudin (2002): (1) menghitung frekuensi
jantung dengan cara maraba xifisternum
atau umbilikalis
dan menentukan apakah jumlahnya lebih atau kurang dari 100/menit, (2) menilai
tonus otot apakah baik/buruk, (3) melihat warna kulit.
Atas dasar pengalaman klinis di atas,
asfiksia neonatorum dapat dibagi
dalam :
1) Skor Apgar :
7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.
2) Asfiksia sedang.
Skor Apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih
dari 100/menit, tonus otot kurang
baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3) Asfiksia berat.
Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat,
refleks-iritablitas tidak ada. (b) Asfiksia berat dengan henti jantung.
Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10
menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan
fisik lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.
D.
Tindakan pada asfiksia neonatorum
Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di
kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi
baru lahir.
1) Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi
menderita asfiksia, perubahan homeostasis yang timbul makin berat, resusitasi
akan lebih sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele
akan meningkat.
2) Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia pascanatal harus dicegah dan diatasi.
3) Riwayat kehamilan dan paritas akan memberikan
keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir.
4) Penilaian, bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar
resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara adekuat.
E.
Resusitasi
1.
Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat
a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan
mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya
pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan
lancar. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan
usaha pemafasan lemah.
b. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi.
c.
Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.
2.
Cara resusitasi
Dalam Saifudin (2002) cara resusitasi
terbagi atas tindakan umum dan tindakan khusus:
a.
Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif banyak
kehilangan panas yang diikuti oleh
penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh ini akan mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Hal ini akan mempersulit keadaan
bayi, apalagi bila bayi menderita asfiksia
berat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang baik segera
setelah lahir. Harus dicegah atau
dikurangi kehilangan panas dari kulit. Permakaian sinar lampu yang cukup
kuat untuk pemanasan luar dapat dianjurkan dan pengeringan tubuh bayi perlu
dibedakan untuk mengurangi evaporasi.
b.
Pembersihan jalan nifas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion. Tindakan ini harus dilakukan dengan cermat dan tidak perlu tergesa-gesa atau kasar. Perlu
diperhatikan pula saat itu bahwa letak kepala
harus lebih rendah untuk memudahkan dan melancarkan keluarnya lendir. Bila
terdapat lendir kental yang melekat di trakea
dan sulit dikeluarkan dengan pengisapan biasa, dapat digunakan laringoskop neonatal sehingga pengisapan dapat dilakukan dengan melihat semaksimalnya,
terutama pada bayi dengan kemungkinan infeksi. Pengisapan yang dilakukan dengan
ceroboh akan menimbulkan penyakit seperti spasme
faring, kolaps paru atau
kerusakan sel mukosa jalan nafas
(Saifudin, 2002).
c.
Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan.
Bayi yang tidak memperlihatkan
usaha bernafas 20 detik setelah lahir dianggap sedikit
banyak telah menderita depresi pusat
pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dikerjakan.
Pada sebagian besar bayi pengisapan lendir dan cairan amnion yang dilakukan
melalui nasofaring akan segera
menimbulkan rangsangan pernafasan. Pengaliran O2 yang cepat
ke dalam mukosa hidung dapat pula
merangsang refleks pernafasan yang sensitif dalam mukosa hidung dan faring.
Bila tindakan ini tidak berhasil beberapa cara stimulasi lain perlu dibedakan.
Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua telapak kaki
bayi menekan tendon achilles atau memberikan
suntikan vitamin K terhadap bayi tertentu.
Hindarilah pemukulan di daerah bokong atau punggung bayi untuk
mencegah timbulnya perdarahan alat dalam. Bila tindakan tersebut tidak
berhasil, cara lain pun tidak akan memberikan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini tindakan utama ialah memperbaiki ventilasi. Perlu dilakukan bahwa melakukan kompresi dinding toraks untuk menimbulkan tekanan negatif
dalam rongga dada tidak akan bermanfaat
pada paru bayi yang belum
berkembang. Tindakan ini mungkin akan menimbulkan kerusakan parunya sendiri
atau perdarahan hati (Saifudin, 2002).
3.
Persiapan Alat
Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga
alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
a.
2 helai kain / handuk.
b.
Bahan ganjal bahu bayi. Bahan
ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk kecil, digulung setinggi 5 cm
dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi.
c.
Alat penghisap lendir de lee
atau bola karet.
d.
Tabung dan sungkup atau balon
dan sungkup neonatal.
e.
Kotak alat resusitasi.
f.
Jam atau pencatat waktu.
(Wikojosastro, 2007).
4.
Langkah-Langkah
Resusitasi
a.
Letakkan bayi di lingkungan
yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk
mengurangi evaporasi.
b.
Sisihkan kain yang basah
kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
c.
Ganjal bahu dengan kain
setinggi 1 cm (snifing positor).
d.
Hisap lendir dengan penghisap
lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih kemudian lanjutkan ke
hidung.
e.
Lakukan rangsangan taktil
dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi.
f.
Nilai pernafasan
Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung
selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai
warna kulit jika merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri
oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
1)
Jika pernapasan sulit
(megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
2)
Ventilasi tekanan positif / PPV
dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau masker, masker harus
menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag
beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
3)
Setelah 30 detik lakukan
penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10.
a)
100 hentikan bantuan nafas,
observasi nafas spontan.
b)
60 – 100 ada peningkatan denyut
jantung teruskan pemberian PPV.
c)
60 – 100 dan tidak ada
peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi jantung.
d)
< 10 x / menit, lakukan PPV
disertai kompresi jantung.
e)
Kompresi jantung
Dua faktor utama yang
perlu dilakukan dalam resisutasi
adalah :
1)
Mengantisipasi
kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa
diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat
diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
2)
Mempersiapkan alat dan
tenaga kesehatan yang siap dan terampil.
Persiapan minumum antara lain :
a)
Alat pemanas siap pakai
– Oksigen
b)
Alat pengisap
c)
Alat sungkup dan balon
resusitasi
d)
Alat intubasi
e)
Obat-obatan
F.
Tindakan khusus
Tindakan umum yang dibicarakan di atas dilakukan pada setiap bayi
baru lahir. Bila tindakan ini tidak memperoleh hasil yang memuaskan, barulah
dilakukan tindakan khusus. Cara yang dikerjakan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul pada bayi yang dimanifestasikan oleh
tinggi rendahnya skor Apgar.
1) Asfiksia Berat (Skor Apgar 0-3).
Resusitasi aktif
dalam hal ini harus segera dibedakan. Langkah utama ialah memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2
dengan tekanan dan intermiten. Cara
yang terbaik ialah dengan melakukan intubasi
endotrakeal. Setelah kateter diletakkan dalam trakea, O2 diberikan dengan tekanan tidak lebih dari 30
cm H20. Hal ini untuk mencegah kemungkinan terjadinya inflasi paru berlebihan sehingga dapat
terjadi ruptur alveoli. Tekanan positif ini dilakukan dengan meniupkan udara yang
mengandung O2 tinggi ke dalam kateter setara mulut ke pipa atau ventilasi kantong ke pipa.
Bila diragukan
akan timbulnya infeksi, terhadap bayi yang mendapat tindakan ini dapat
diberikan antibiotika profilaksis.
Keadaan asfiksia berat ini hampir
selalu, disertai acidosis yang membutuhkan
koreksi segera karena itu bikarbonas
natrikus diberikan dengan dosis 2-4 mEq/kgbb. Di samping itu diberikan pula
glukosa 15- 16% dengan dosis 2-4 ml/kgbb. Kedua obat ini disuntikkan secara
intravena dengan perlahan-lahan, melalui
versa umbilikalis. Perlu diperhatikan
bahwa reaksi optimal obat-obatan ini akan tampak jelas apabila pertukaran gas (ventilasi)
paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernafasan (gasping) biasanya mulai
timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali. Bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan
pernafasan atau frekuensi jantung, masase
jantung eksternal harus segera kerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan
ini dilakukan dengan diselingi ventilasi
tekanan dalam perbandingan 1 : 3, yaitu setiap 1 kali ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks. Bila tindakan ini dilakukan
bersamaan mungkin akan terjadi komplikasi berupa pneumotoraks atau pneumomediastinum.
Bila tindakan ini tidak memberikan hasil yang diterapkan, bayi harus dinilai
kembali, yaitu karena hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan
asam-basa, yang belum dikoreksi dengan baik atau adanya kemungkinan gangguan
organik seperti hernia diafragma, atresia
atau stenosis jalan nafas dan
lain-lain.
1)
Asfiksia berat dengan disertai henti jantung.
Tindakan yang
dilakukan sesuai dengan penderita asfiksia
berat, hanya dalam hal ini disamping pemasangan pipa endotrakeal, segera pula dilakukan masase jantung eksternal (Saifudin, 2002).
2) Asfiksia sedang
(Skor Apgar 4-6)
Dalam hal ini
dapat dicoba melakukan stimulasi agar timbul refleks pernafasan. Bila dalam waktu
36-60 detik tidak timbul pernafasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Ventilasi aktif yarg sederhana, dapat dilakukan secara 'frog breathing'. Cara ini kerjakan
dengan meletakkan kateter 02 intranasalsian
02 dialirkan dengan aliran 1-21/menit. Agar saluran nafas bebas bayi
diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Secara ritmis
dilakukan gerakan membuka dan menutup nares
dan mulut, disertai gerakan dagu ke atas dan ke bawah dalam frekuensi 20
kali/menit. Tindakan ini dilakukan dengan memperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan
gerakan pernafasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut. Ventilasi ini dihentikan bila setelah 1-2 menit tidak dicapai hasil
yang diharapkan. Dalam hal ini
segera dilakukan ventilasi paru
dengan tekanan positif secara tidak langsung.
Ventilasi ini dapat kerjakan dengan 2 cara. yaitu ventilasi mulut ke mulut atau ventilasi kantong ke masker. Sebelum ventilasi dikerjakan, ke dalam mulut bayi dimasukkan 'plastic pharyngeal airway' yang berfungsi mendorong pangkal lidah
ke depan agar jalan nafas tetap berada dalam keadaan bebas. Pada ventilasi mulut ke mulut, sebelumnya
mulut penolong diisi dulu dengan 02 sebelum melakukan peniupan. Ventilasi dilakukan secara teratur
dengan frekuensi 20-30 kali/menit dan diperhatikan gerakan pernafasan spontan
yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil bila setelah dilakukan
beberapa saat terjadi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot. Intubasi endotrakeal harus segera dikerjakan dan bayi diperlakukan
sebagai penderita asfiksia berat.
Bikarbonas natrikus dan glukosa dapat diberikan pada bayi, apabila 3 menit setelah lahir tidak
memperlihatkan pernafasan teratur, walaupun ventilasi
telah dilakukan dengan adekuat. Cara dan dosis obat yang diberikan sesuai
dengan cara yang dilakukan terhadap penderita asfiksia berat (Saifudin, 2002).
G.
Tindakan lain dalam resusitasi
1.
Pengisapan cairan
lambung.
Tindakan
ini dilakukan pada bayi tertentu, yaitu untuk menghindarkan adanya regurgitasi dan aspirasi. Sebaiknya pengisapan ini dilakukan pada bayi yang
sebelumnya menderita gawat janin, prematuritas,
bayi ibu penderita diabetes melitus
dan pada bayi yang waktu persalinan dipengaruhi secara tidak langsung oleh
obat.
Manfaat
lain yang dapat diperoleh dari pengisapan cairan lambung ialah: (a) mengenal
secara dini adanya atresia/ stenosid esofagus, (b) bila, ditemukan cairan
lambung yang berlebihan (lebih dari 30 ml), ingatlah kemungkinan akan obstruksi usus letak tinggi, (c) bila
ditemukan jumlah sel darah putih yang tinggi pada sediaan langsung cairan lambung
bayi sudah hampir pasti telah kontak dengan infeksi cairan amnion (amnionitis). Pengisapan cairan lambung
mungkin pula menimbulkan efek yang kurang baik, seperti bradikardia, serangan apnu spasme faring. Karena itu tindakan ini dikerjakan bila keadaan bayi telah
mengijinkan.
2.
Penggunaan obat.
Obat
analeptik seperti koramin, lobelin, vandid dan lain-lain,
sekarang sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan, sedangkan pada penderita asfiksia berat, obat tersebut merupakan
indikasi kontra. Beberapa obat narkotika dan analgetika yang diberikan pada ibu 2-4 jam sebelum bayi lahir,
dapat menimbulkan depresi pernafasan
pada bayi saat lahir. Obat tersebut misalnya heroin dan petidin. Pada
keadaan ini dianjurkan memberikan antidotumnya
berupa nalorpin dengan dosis 0,2 mg/kgbb
dan diberikan secara intravena atau intramuskulus dalam (Saifudin, 2002).
3.
Profilaksis
terhadap blenorea
Tindakan
ini harus tetap dilakukan dengan memberikan nitres
argenti 1%. Setelah pemberian, mata
dibilas dengan garam fisiologis untuk
mengurangi bahaya iritasi.
4.
Faktor aseptik dan
antiseptik
Pada
setiap tindakan yang dilakukan pada bayi baru lahir, harus selalu diperhatikan
faktor aseptik dan antiseptik. Bila sterilitas
tindakan diragukan, segera diberikan antibiotica
prordaksis.
5.
Beberapa klinik
menganjurkan cara lain dalam mengatasi bayi dengan asfiksia berat. Cara tersebut, ialah:
a)
Hipotermia. Asfiksia
berat dapat diatasi dengan
hipotermia yang dalam, yaitu untuk
mengurangi/membatasi kerusakan sel jaringan (terutama otak). Tindakan ini
dianggap bermanfaat karena dapat mengurangi
kebutuhan sel jaringan akan oksigen. Sikap ini belum banyak dianut, karena manfaatnya tidak pasti.
b)
Oksigen hiperbarik. Cara ini dianut oleh beberapa klinik di Inggris.
Bayi diletakkan dalam ruangan tertutup yang berisi oksigen dengan tekanan atmosfir yang tinggi. Cara ini
dianggap memperlihatkan hasil yang sama, dengan ventilasi tekanan positif. Di samping itu beberapa sarjana
menganggap bahwa tindakan ini tidak berfaedah (James, 1966) dalam Saifudin
(2002).
H.
Contoh Kasus
Asuhan kebidanan neonatus bayi dan balita dengan Asfiksia
Neonatorum pada bayi Ny. D umur 1 jam di BPS Yulianti Tulungagung
Hari/
tanggal/ jam
|
Data
Subyektif
|
Data
Obyektif
|
Assement
|
Planing
|
Selasa 23 September 2008 pukul 08.00 WIB
|
Bayi pucat dan
sulit bernapas
Riwayat Antenatal
a.
Ibu mengatakan memeriksakan
kehamilannya secara rutin/ANC ke bidan 2x, ke puskesmas 2x dan ke polindes 1x
jadi selama kehamilan ibu melakukan ANC sebanyak 5x
b.
Mendapatkan imunisasi TT
lengkap
c.
Obat-obatan yang pernah
diminum Fe, kalk, vit C, vit B6, vit B1
d.
Keluhan selama kehamilan
v TM I mual muntah pada pagi hari
v TM II tidak ada keluhan
v TM III sering kencing
e.
Ibu tidak ada riwayat alergi
terhadap makanan, minuman maupun obat-obatan
f.
Tidak ada penyakit menular
Ex : hepatitis, AIDS, thypoid, PMS
g.
Tidak ada penyakit menurun
Ex : DM, hypertensi
h.
Tidak ada penyakit menahun
Ex : TBC, asma
i.
UK 36 minggu
j.
Selama hamil ibu tidak
pantangan terhadap makanan minuman maupun obat-obatan serta minum jamu-jamuan
Riwayat Intranatal
Ibu merasa
kencengkenceng mulai tanggal 23 september 2008 pukul 08.00 WIB. Sifat Adekuat,
kontraksi 5x dalam 10 menit, sudah mengeluarkan lendir bercampur darah,
ketuban masih utuh, bayi lahir pada tanggal 23 september 2008 pukul 07.45 WIB
ditolong oleh bidan, persalnan berlangsung secara spontan pervaginam, jenis
kelamin laki-laki.
BB = 3000 gram,
PB = 50 cm, LD = 34 cm selam persalinan tidak ada kesulitan, tidak ada
kelainan, tidak ada cacat bawaan pada bayi, placeta lahir pada pukul 08.15
WIB dengan cara spontan. Pada sat lahir bayi tidak menangis kuat, urine
keluar spontan saat persalinan.
Lama persalinan
o
Kala I :
7 jam
o
Kala II : 1 jam
o
Kala III : 15 menit
o
Kala IV : 2 jam
Obat yang
diberikan adalah oksitosin ( 10 unit)untuk bayi : polio (2 tetes) hepatitis B
|
TTV
Nadi : 120 x /menit
Respirasi
: 65X/ menit
Suhu
: 38oC
Pemerikasaan
fisik
·
Hidung
Simetris, ada lendir sedikit, terpasang O2
·
Mulut
bibir simetris, bibir
pucat, tidak sumbing, tidak ada luka
|
Bayi Ny. D umur 1 jam dengan asfiksia
neonatorum
|
1. Hangatkan tubuh bayi
Rasional :
Bayi hangat dan tidak hipotermi
2. Atur posisi bayi
Rasional:
Untuk memperlancar respirasi
3. Bersihkan jalan nafas
Rasional :
Dengan membersihkan jalan nafas, sekret
bisa keluar dari nafas bayi.
4. Keringkan tubuh bayi.
Rasional :
Untuk mencegah hipotermi.
5. Lakukan penilaian terhadap bayi.
Rasional: untuk menilai keadaan bayi
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Skor Apgar :
7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.
2. Asfiksia sedang.
Skor Apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih
dari 100/menit, tonus otot kurang
baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia berat.
Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat,
refleks-iritablitas tidak ada. (b) Asfiksia berat dengan henti jantung.
Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10
menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan
fisik lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.
B.
Saran
Bidan diharapkan dapat lebih proaktif
dalam bekerja sama dengan instansi kesehatan, sehingga apabila terdapat pasien
yang perlu segera dirujuk dapat dilakukan rujukan secara cepat dan tepat dengan
harapan pasien dapat segera ditangani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar